Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Jumat, 21 September 2012

Potret GKPA Kini dan Sejumlah Gagasan Untuk Masa Depan

“Roh Kudus Meyakinkan Kita Bahwa Yesus Anak Allah”, demikianlah tema yang menjadi tawaran tim redaksi Sioban Barita pada edisi no. 18 (November/Desember 2012). Sekilas membaca tema ini tersirat pertanyaan dalam benak saya, apakah dasar pernyataan ini diangkat sebagai tema Sioban Barita edisi no. 18? Apakah tema ini diangkat dalam rangka membicarakan dan membahas Yesus dalam bingkai Dogmatika (dalam bahasa Inggris diterjemahkan Confession yang artinya sejajar dengan kata Pengakuan)? Atau apakah dalam kehidupan realitas berjemaat yang sudah dijalani oleh GKPA beberapa tahun belakangan ini masih ada pihak yang masih belum meyakini Yesus sebagai Anak Allah, dimana kemungkinan besar para Pelayan Tuhan sudah berusaha memberi pemahaman akan hal tersebut namun yang bersangkutan tak kunjung meyakininya sehingga pada akhirnya diperlukanlah peran serta Roh Kudus untuk meyakinkan pihak tersebut? Cukup konyol mungkin jika terlintas dalam pikiran saya, apakah mungkin GKPA yang baru saja merayakan Hari Kemandiriannya yang ke-37 masih menyibukkan diri mengurus perkara Dogmatik. Bukahkah hal (Dogmatika) tersebut merupakan warisan para tokoh Missionaris terdahulu yang telah meletakkan pondasi iman pada pengakuan Yesus sebagai Anak Allah dan Kepala Gereja kepada setiap orang yang mereka injili termasuk setiap orang yang telah menjadi warga jemaat GKPA saat ini? Dan bukankah para tokoh gereja telah menetapkan satu patron yang mengejawantahkan suatu gereja layak berdiri sendiri secara mapan apabila ia memang sudah memiliki kemandirian, yakni kemandirian dibidang dana, daya dan teologi (termasuk di dalamnya perkara Dogmatika). Dan bukankah sejak awal GKPA sudah memantapkan dirinya untuk berdiri secara mandiri sebagai gereja dalam pondasi ajaran Lutheran dan meyakini Allah yang Trinitatis? Ataukah mungkin ada yang salah dengan proses kemandirian GKPA dahulu? Mungkinkah kemandirian GKPA dahulu terlalu premature dan dipaksakan untuk lahir sehingga membawa dampak pada pemahaman Dogmatika yang cenderung keabu-abuan dan oleh karena itu pada saat ini merasa perlu untuk membahas serta menemukan Dogmatika ala GKPA untuk menghilangkan keprematuran tersebut? Setiap orang akan pasti memiliki intepretasi yang beragam terkait dengan pembahasan dan pembicaraan tema ini, dan apabila semua intepretasi itu dimuat Media Sioban Barita mungkin akan membutuhkan beberapa kolom tulisan dan perlu diterbitkan dalam beberapa edisi (layaknya cerita bersambung) untuk mengulasnya secara tuntas. Beberapa pertanyaan yang telah diajukan dalam alinea sebelumnya dapat dilihat sebagai representasi pikiran yang mencoba untuk membedah tema tersebut dalam “Confession Paradigm” (Paradigma Pengakuan). Dan merupakan hal yang wajar apabila setiap orang mengemukakan pemahamannya yang terbalut dalam pengakuan ketika berusaha untuk mengenal sosok dan keberadaan Tuhan yang “transcendental”. Secara lambat tapi pasti tanpa kita sadari Pengakuan yang selama ini kita pakai sebagai dasar keimanan akan pengenalan Tuhan akan bermetamorphosis menjadi standar untuk menilai kebenaran pemahaman seseorang. Ya, Pengakuan itu berubah menjadi pengAKUan yang memaksa orang lain untuk mengakui dan menerima kebenaran yang kita miliki, seolah kita merasa bahwa apa yang aku pikirkan, aku ketahui dan apa yang aku katakan merupakan kebenaran yang mutlak yang harus diikuti oleh setiap orang. Dan setiap orang yang tidak menerima pengAKUan (apa yang telah aku akui) itu adalah sesat dan tidak benar, dan ia berhak untuk dihakimi dan mendapat hukuman. Bukankah hal itu yang kerap terjadi di tanah air kita saat ini, dimana sering terjadi perpecahan dan pertikaian yang di dasari oleh perbedaan pengakuan. Sebahagian pihak yang merasa dirinya sebagai mayoritas memiliki hak untuk menetapkan satu pengakuan sebagai standar kebenaran yang mutlak, dan apabila ada orang/pihak yang berseberangan dengan pengakuan tersebut ia layak untuk dibina melalui ganjaran hukuman sebagai efek jera atau bahkan bila perlu dibinasakan sekaligus agar dapat menjadi peringatan bagi yang lain apabila tidak patuh dengan pengakuan tersebut, seolah ia telah diberi hak veto oleh Tuhan untuk menentukan kehidupan setiap orang. Demikianlah halnya jika kita membatasi pengenalan kita kepada Yesus hanya dalam ruang lingkup Confession Paradigm, yakni suatu usaha melihat dan mengenal sosok Yesus sebatas ranah pengetahuan (dalam pikiran) dari berbagai literature buku atau dengan memakai pandangan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai ahli sejarah Yesus. Pola pikir seperti inilah yang justru akan membuat orang semakin kabur dalam mengenal Yesus yang sesungguhnya, tidak ubahnya seperti pengakuan Petrus terhadap Yesus sebagaimana termaktub dalam Markus 8:27-30. Selayaknya pengakuan kita akan Yesus sebagai Anak Allah tidaklah berangkat dari apa yang orang katakan dan dari apa yang orang akui, ia haruslah berakar dari pengalaman hidup setiap manusia itu sendiri ketika ia menjalani hidup bersama Tuhan. Pengenalan dan pengakuan akan Yesus haruslah berangkat dari satu rasa, yakni rasa kasih. Bukankah ketika Yesus hadir di tengah-tengah dunia ini Ia mencoba untuk berbagi rasa kasih kepada setiap orang secara pribadi. Kendati Ia memberikan kasih yang sama kepada setiap orang, namun Ia tidak melakukan cara yang sama kepada setiap orang. Disatu sisi Ia menyatakan kasih dalam bentuk mujizat dan penyembuhan, tetapi disisi lain Ia menyatakan kasih dalam bentuk pengajaran. Inilah yang membuat pengenalan akan Yesus begitu unik dan berbeda, yakni ketika Ia menyatakan kasih yang sama dalam berbagai bentuk dan cara yang berbeda sehingga memungkinkan setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengenal dan mengakui-Nya. Bagi-Nya perbedaan pandangan/pengakuan bukanlah hal yang patut untuk dipertentangkan, melainkan dirajut dalam sikap kasih sebagaimana Ia lakukan. Kehadiran-Nya di bumi persada ini tidak hanya sekedar memberitakan Kerajaan Tuhan, Ia juga berusaha mengajak setiap orang akan usaha pemenuhan Kerajaan Tuhan itu melalui tindakan nyata. Bagi-Nya Kerajaan Tuhan bukanlah hanya sekedar harapan yang akan didapatkan kelak, melainkan ia harus dikerjakan dalam konteks kekinian dan pada saat ini. Hal inilah yang disebut dengan “Compassion Paradigm” (Paradigma Kasih). Melalui sudut pandang (paradigma) seperti inilah kita akan mampu melihat Yesus sebagai pelaku Praksis (proses penerjemahan pengetahuan atau pemahaman dalam tindakan dan perbuatan). Dalam visi Yesus, kasih bukanlah suatu verbalisme (pengetahuan tanpa tindakan) atau aktivisme (tindakan tanpa pengetahuan) semata, namun ia adalah praksis. Kasih bukanlah merupakan untaian kata indah tanpa arti, ia adalah rasa yang dapat mengubah rasa hampa, rasa hambar dan rasa tawar menjadi sesuatu yang memiliki citarasa. Dalam realitas kehidupan kekristenan saat ini kerap kali pesan Yesus tersebut menjadi utopia bermuatan gagasan, ide dan jargon-jargon yang seolah tak pernah membumi. Penyampaian berita kasih melalui mimbar-mimbar gereja kini menjelma bagaikan angin surga yang seakan memberi candu bagi para pendengarnya untuk sejenak melupakan kegelisahan dan pergumulan hidup ketika mereka berada di dalam gereja, seolah menjadikan gereja sebagai pusat kedamaian semu dengan menghilangkan fungsinya sebagai penunjuk jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut diperlengkapi pula oleh pemahaman sebahagian dari para pelayan Tuhan yang mencoba meng’update’ orientasi pelayanannya pada suatu kepentingan untuk mencapai singgasana pemangku jabatan dan kuasa nantinya. Yang mana dengan sendirinya mereka mengikrarkan diri mereka sebagai penguasa dibidang keagamaan, sebagaimana dalam tradisi Yahudi yang mengagungkan Mesias sebagai penguasa keagamaan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa situasi dan keadaan ini terbias dari kehidupan masyarakat umum dan kondisi politik di Indonesia saat ini yang selalu menganggap orang kuat dan berkuasa yang akan menjadi pemenang. Dan inilah yang membuat orang-orang berlomba-lomba menjadi penguasa dibanding menjadi pemberi rasa. Setiap orang akan memilih menjadi gunung tinggi yang akan dilihat karena kebesarannya dari pada memilih menjadi garam yang akan hilang jika dilarutkan ke dalam cairan. Realita ini tidaklah terjadi di negeri yang nun jauh disana, tetapi ia terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Negara dimana GKPA dilahirkan dan dibesarkan hingga mencapai usia 37 tahun. Di dalam perjalanan hidupnya selama 37 tahun bersama Tuhan (baca: Yesus) sudah semestinya GKPA mengenal, mengetahui serta mengakui siapa Yesus dan apa yang telah Ia perbuat bagi GKPA. Tidaklah terlalu berlebihan jika saya mengatakan sudah bukan porsinya lagi GKPA menemukan wajah Yesus dalam tatanan Dogmatika. Sudah saatnya GKPA melangkah pada pengenalan Yesus dalam karya serta perbuatanNya melalui panggilan dan tindakan berdiakonia. Sudah waktunya GKPA untuk belajar melihat, mendengar serta memahami orang-orang di sekitarnya, dengan tidak mengutamakan kepentingan pribadi. Gagasan menjadi “Sense Giver Church” (gereja pemberi rasa) seyogianya dimunculkan dalam Masterplan GKPA. Langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengerjakan hal tersebut adalah pemantapan bidang atau bagian yang berkaitan dengan usaha dan diakonia. Dan salah satu contoh konkrit yang saya ingat pernah dilakukan oleh GKPA untuk memantapkan bidang Diakonia adalah pembentukan Parpem (Partisipasi Pembangunan) dalam tubuh GKPA. Walaupun pada kenyataannya rencana ini belum berjalan secara mulus dan maksimal. Oleh karena itu belajar dari pengalaman yang kurang baik ini hendaknya marilah kita melihat bahwa upaya pemaksimalan Parpem jangan terlebih dahulu dimanifestasikan sebagai ‘alat’ untuk menjual program sehingga dapat memperoleh income dari lembaga-lembaga asing, tetapi hendaknya ia dioptimalkan sebagai langkah untuk membangun kelompok yang saling bertumbuh bersama (Community Development) di dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Semestinya secara sadar GKPA mampu membangun sense of belonging dalam tubuh jemaat melalui upaya individual consideration ataupun pendampingan ketika akan mengerjakan satu proyek sehingga tidak berakhir sebagai usaha menjaring angin. Karena hal pertama dan utama yang harus dilakukan untuk memahami jemaat dalam konteks gereja sebagai pemberi rasa adalah dengan mendengarkan mereka dan menaruh empathy terhadap mereka, bukan sekedar bersimpati dan menganggap bahwa kita (sebagai superior) atau pun gereja mampu memenuhi keinginan mereka (sebagai inferior). From listen we can understand our community and from observation we can building our community. Ketika kita telah memahami Roh Kudus meyakinkan kita bahwa Yesus Anak Allah dalam “Compassion Paradigm”, maka seharusnya kehidupan kita (baca: GKPA) sudah terpola pada kehidupan yang telah diteladani oleh Yesus Kristus (ketika Ia telah menginjakkan kaki-Nya di bawah langit dan di atas bumi ini) sebagai pemberi rasa (kasih) yakni melalui teladan kepedulian dan sikap belarasa kepada setiap orang. Semoga saja harapan ini dapat diwujudnyatakan oleh GKPA dalam setiap pelayanannya dan arak-arakan perjalanan organisasinya, yang sudah barang tentu diawali oleh Pucuk Pimpinannya sebagai “First Person” dalam tubuh organisasi yang serta merta akan diikuti oleh rekan-rekan sepelayannya. Dengan cara seperti inilah maka akan terwujud warga GKPA yang menjadi pembawa kelepasan, keteduhan dan kedamaian dalam kehidupannya berkeluarga, berjemaat serta juga bermasyarakat sebagaimana disuarakan dalam subtema GKPA masa pelayanan 2011 – 2016. Dan biarlah kiranya gagasan yang dituangkan dalam tulisan sederhana ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk melihat gambaran GKPA dimasa mendatang sebagai gereja pemberi rasa. And the last as conclusion: “When Confession Paradigm and Compassion Paradigm fusing by praxis, it’s will be power to save all who believe”.

Selasa, 21 Agustus 2012

Pemuda Riwayatmu Kini

Ketika membaca judul tulisan di atas mungkin ingatan kita akan diingatkan kembali akan penggalan lirik salah satu tembang legendaris yang berjudul Bengawan Solo karya mendiang Gesang. Lagu tersebut tidak hanya tenar di Negara kita saja, tetapi telah sampai terdengar ke beberapa Negara tetangga. Thema yang disampaikan dalam lagu ini cukup sederhana dimana lagu ini berceritakan tentang satu danau yang terletak di daerah Solo yang konon katanya memiliki nilai bersejarah, namun pada saat ini terancam pada jurang kepunahan dan hanya tinggal kenangan saja akibat ketidakpedulian sekelumit manusia. Nah, melalui kacamata thema lagu tersebut saya akan mencoba mengarahkan pembaca khususnya setiap warga jemaat GKPA untuk melihat realitas keberadaan dan tanggungjawab Pemuda terhadap gereja saat ini. Dan inilah yang menjadi dasar saya mengusung judul “Pemuda Riwayatmu Kini” dalam artikel ini.
Dimasa sekarang ini kerap terjadi ambivalensi di tubuh pemuda dalam memahami istilah pemuda sebagai “bunga-bunga ni parlagutan”. Sebahagian besar memahami bahwa konsep tersebut merupakan pernyataan bahwa peran dan fungsi pemuda hanya sebagai objek untuk memperindah suasana gereja ibarat taman yang menjadi karena dihiasi oleh bunga yang bermekaran. Pemahaman tersebut pada akhirnya berbias pada satu kebiasaan pemuda yang menganggap dirinya hanya sebagai pelengkap penderita atau bahkan ‘penyemak’ dalam setiap kegiatan/ program yang ditawarkan oleh gereja. Dan lebih anehnya lagi pola pikir seperti ini tanpa sadar didukung pula oleh kebiasaan gereja yang selalu memberi ‘ikan’ kepada pemudanya tanpa mengajarkan mereka bagaimana cara memancing dan menjaga agar tetap ada ikan dalam air tersebut. Atau dalam versi Alkitabiah dapat kita sejajarkan dengan istilah menjadikan pemuda gereja hanya sebagai orang kristen yang “minum susu” tanpa mengajarkan mereka untuk “makan nasi” sesuai dengan kadar usia mereka. Tak anyal lagi hal ini akan berdampak pada lahirnya pemuda-pemuda yang tidak proaktif dan kontributif terhadap gereja akibat ‘zat adiktif’ yang ditularkan oleh kebiasaan dan pola pikir yang salah tersebut. Sekarang marilah kita coba cek dan ricek kegiatan/program di gereja kita masing-masing yang berkaitan dengan pemuda, bukankah semua kegiatan diisi dengan daftar lagu yang harus dinyayikan oleh pemuda setiap minggunya? Bukankah dalam pertemuan pemuda hanya diisi ‘kongkow-kongkow bareng’ tentang bagaimana cara merayakan Paskah atau Natal tahun ini? Bukankah setiap uang ‘lebih’ yang dimiliki oleh pemuda akan berakhir dengan program ‘plesiran’ kedaerah-daerah tertentu? Ironis tapi nyata, mungkin menjadi istilah yang cukup tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Ironis karena situsi seperti ini hanya akan membuat pemuda itu menjadi orang yang tidak bertumbuh dewasa sesuai dengan usianya, namun nyata karena seolah-olah situasi seperti ini justru dipertahankan oleh gereja sampai pada saat ini. Idealnya gereja merupakan sarana pusat pembinaan karakter atau jati diri secara nonformal bagi pemuda sehingga pada akhirnya mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka secara nyata kepada masyarakat, gereja atau bahkan intrauniversiter dalam rangka menghadirkan Syalom Allah ditengah-tengah dunia ini. Sebagai regenerasi seharusnyalah ia dikader sejak dini untuk menjadi pemimpin dimasa depan (the Coming Leader) dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpikir, berbicara, mengambil suatu keputusan atau bahkan memberikan kebebasan kepada pemuda untuk mengembangkan kreatifitasnya melalui program yang secara sadar dapat dipertanggungjawabkan. Namun secara real atau kenyataannya yang terjadi adalah proses sebaliknya dimana dibeberapa gereja terjadi proses pembunuhan karakter atau bahkan yang lebih parahnya mengarah kepada proses pembodohan terhadap pemuda gerejanya. Ibarat bunga yang tepat berbunga pada waktunya, demikianlah seharusnya keberadaan pemuda gereja. Satu hal yang perlu kita sadari bahwa sesungguhnya setiap orang hanya memiliki satu kesempatan dalam hidupnya untuk menjalani masa muda dan sudah selayaknya ketika ia berada pada kesempatan itu ia memberi warna dalam kehidupan gereja melalui sikap peduli mereka yang mau memikirkan masa depan gerejanya. Bukan hanya menjadi pemain yang menunggu bola tetapi mampu menjadi pemain yang menjemput bola. Bulan Oktober kerap diidentikkan dengan bulan pemuda mengingat dalam bulan ini akan diperingati hari sumpah Pemuda. Suatu hari dimana seluruh pemuda dari latar belakang suku yang berbeda, bahasa yang berbeda dan pola pikir berbeda namun menyatakan komitmennya untuk bersatu dalam bahasa, bangsa dan tanah air dibawah bendera Indonesia. Komitmen ini muncul bukan hanya sebagai spontanitas atau kelatahan semata, namun ia terpatri karena berangkat dari satu rasa yang sama, yakni ketika mereka merasa terjajah dan menderita yang berubah menjadi kekuatan untuk bangkit bersama dan membangun bangsa Indonesia. Dan semangat seperti inilah yang terus digalakkan oleh tokoh perjuangan Indonesia Ir. Soekarno ketika ia berkata “berikanlah kepadaku sepuluh orang pemuda untuk membangun bangsa ini”. Ya tentu saja yang dimaksudkan beliau adalah sepuluh orang pemuda yang mau berpikir untuk membangun bangsanya, dengan tidak mengutamakan kepentingannya dan sepuluh pemuda yang mau berbuat untuk bangsanya tanpa digerogoti rasa takut akan kehilangan dan kekurangan. Semangat itu tidak hanya sekedar komitmen dalam goresan kata-kata indah, tetapi menjadi doa yang memampukan mereka berjuang dan berpikir untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanpa terasa Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) sudah memasuki usia 37 tahun saat ini, suatu usia yang akan memasuki usia dewasa dalam ukuran manusia. Dan berketapan pada bulan oktober akan menyambut pesta olop-olopnya. Sejenak mari kita coba kilas balik akan proses berdirinya GKPA dimasa lalu. Kita tentu masih ingat bahwa semangat berdirinya GKPA dahulunya diawali oleh pemahaman akan satu rasa yang sama, yakni satu kebudayaan yang sama, satu semangat pemberitaan Injil dan satu cita-cita kemandirian yang dahulu selalu didengungkan oleh para Missionaris. Inilah yang menjadi modal awal para tokoh pendiri GKPA untuk membangun Kerajaan Allah dalam road map GKPA hingga hari ini. Dan perlu kita ingat bahwa proses tersebut tidak terlepas dari peran serta pemudanya yang ikut aktif berperan dan memberikan kontribusinya masing-masing. Mari kita coba lihat daftar nama-nama yang ikut terlibat dalam Badan Persiapan Panjaeon BPP HKBPA (yang merupakan cikal bakan GKPA) bukankah mereka diisi oleh orang-orang yang masih tergolong muda? Bukan hanya sekedar itu saja masih banyak lagi peran-peran yang dilakoni oleh para pemuda untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk ketika mereka berperan dibalik layar. Sebagai seorang pemuda yang terbatas dan masih berdiri dalam kekurangmapanan, saya tidak bisa memberikan hadiah yang berharga (dalam takaran materi) untuk merayakan pesta olop-olop GKPA tahun ini, namun melalui media Sioban Barita GKPA ini saya titipkan satu semangat dalam merayakan pesta olop-olop tahun ini melalui tantangan kepada setiap pemuda yang menyatakan dirinya sebagai pemuda GKPA untuk berefleksi sekaligus menjawab pertanyaan ini, sudahkah kita menjadi salah seorang pemuda dari sepuluh pemuda yang terpilih untuk membangun gereja kita ini. Sudahkah kita menjadi orang yang mampu memikirkan masa depan gerejanya? Aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum), demikian filosofi yang disampaikan oleh Rene des Cartes. Sudahkah kita ber’ada’ di gereja? Jikalaulah kita sudah berada di gereja sudah barang tentu kita akan memikirkannya, karena Gereja bukan hanya milik pendeta, sintua ata orang tua, namun gereja itu milik kita. Gereja bukanlah gedungnya, tetapi gereja adalah orangnya (baca : pemudanya). Mari kita sebagai pemuda sejenak lupakan beragam pertanyaan yang mungkin tak kunjung terjawab hingga hari ini dan mari kita coba ubah mindset kita tentang arti pelayanan yang sesungguhnya. Mari kita coba evaluasi diri kita pribadi lepas pribadi apakah yang sudah kita berikan pada gereja kita. Bukankah hal seperti itu yang pernah Yesus nasehatkan kepada murid-muridNya dengan berkata “Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa saja yang ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (bnd Mrk 10:43-45 terj. BIMK)."

Merangkai Pilu Membangun Asa

“Apa yang pernah terjadi, akan terjadi lagi. Apa yang pernah dilakukan, akan dilakukan lagi. Tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini”, demikianlah sepenggal kalimat yang menjadi awal mula pergumulan seorang ‘pemikir’ pada masa hidupnya. Hal tersebut ia rangkai dalam satu tulisan yang dikemas menjadi satu kitab dalam Perjanjian Lama yang hingga saat ini kita kenal dengan Kitab Pengkhotbah. Sekilas jika kita perhatikan teks tersebut sangat kental dengan nuansa putus asa dan pola pikir ‘negative thinking’, yakni suatu pola berpikir yang belakangan ini sangat tidak dianjurkan untuk diterapkan. Namun jika kita mau mendalami latar belakang teks, kita akan diarahkan pada satu gambaran bahwa ketika sistem keagamaan berjalan dengan baik, maka bersamaan dengan itu pula pola hidup yang penuh pertentangan, ketidakadilan dan hal-hal yang sulit dimengerti selalu mendampinginya. Dan itulah yang kerap dipergumulkan oleh ‘sang pemikir’ ini dalam perjalanan hidupnya, seolah-olah ia melihat ambivalensi antara keimanan dan pola hidup keseharian, sehingga ia dengan tegas mengatakan bahwa segala yang terjadi di bawah langit adalah sia-sia dan usaha menjaring angin. Sadar atau tidak sadar mungkin saja perjalanan hidup kita tidak ubahnya seperti latar belakang kehidupan ‘sang pemikir’ yang ia tuliskan dalam kitab Pengkhotbah. Tanpa terasa kita sudah menapaki Tahun 2012 yang konon katanya ‘baru’, dan hal ini nyata dalam pesta sukacita yang kita rayakan dengan gegap gempitanya sampai seolah-olah kita merasa awal tahun yang kita lewati terlalu singkat. Selepas sukacita melewati masa-masa tahun baru, di bulan-bulan selanjutnya kita akan memasuki nuansa dukacita dan kesedihan, dimana kita akan memasuki musim Paskah. Suatu musim yang menuntun kita pada peringatan penderitaan Yesus yang mengorbankan diri-Nya mati di Kayu Salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Musim ini biasanya selalu dipenuhi dengan ornament penayangan film-film yang mengambarkan akan sakitnya penderitaan seorang Yesus yang rela mati untuk kita, sehingga pada akhirnya membuat kita terlarut dalam kesedihan. Setelah melewati masa dukacita dalam musim Paskah, kembali kita akan memasuki musim sukacita karena akan menyambut hari kelahiran Sang Juruselamat yang biasanya akan kita peringati melalui perayaan Natal. Demikianlah hal tersebut akan berulang dalam kehidupan kita dan akan kita lewati setiap tahunnya, seolah-olah itu sudah berjalan dengan sendirinya. Banyak agenda yang sudah kita rencanakan setiap tahunnya untuk melewati musim-musim itu dan pada musim-musim inilah biasanya gereja akan dipenuhi oleh berbagai program yang selalu menyibukkan gereja, mulai dari pimpinan jemaatnya, para penatuanya bahkan sampai kepada setiap jemaatnya. Setiap orang yang mengaku dirinya Kristen pasti ingin selalu ambil bagian dalam musim dan perayaan tersebut, ya minimalnya ikut dalam kebaktian gerejalah. Nah pertanyaannya sekarang adalah apakah setiap peringatan yang telah kita lewati selama ini membawa dampak baik bagi kehidupan kita? Apakah setiap peristiwa tersebut sudah membawa kita ke arah perubahan yang lebih baik lagi? Pertanyaan yang cukup mengelitik namun syarat dengan keraguan ketika kita harus menjawabnya, karena sesungguhnya pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban, melainkan membutuhkan satu pernyataan sikap yang dapat terlihat di dalam kehidupan setiap manusia yang telah menyatakan dirinya diselamatkan oleh Sang Juruselamat. Saat ini kita akan memasuki masa Paskah, masa dimana kita akan memperingati peristiwa penderitaan Yesus ketika Ia disiksa, disalibkan dan pada akhirnya mengalami kematian. Tak lama sesudah melewati masa kematian, seorang Yesus bangkit pada hari ketiga dan kembali memberitakan kabar sukacita. Inilah yang menjadi puncak pada perayaan masa Paskah, yakni masa dimana Yesus bangkit dan mengalahkan kuasa kematian. Belakangan ini banyak para penulis cerita dan sutradara film yang mencoba menggambarkan kembali peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang silam itu secara dramatis dan syarat dengan nilai-nilai heroik. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat merasakan dan terlarut dalam peristiwa itu secara emosional. Namun berbanding terbalik dengan hal tersebut banyak pula kalangan yang menganggap bahwa kisah ini tidak lebih dari sebuah pepesan kosong yang tak bermakna sama sekali. Mereka menganggap bahwa tokoh Yesus tidak lebih dari seorang revolusioner yang takhluk ditangan pemerintahan Kekaisaran Romawi dan bukan seorang pembebas atau Mesias yang selama ini didengungkan oleh kaum Yahudi. Bagi mereka peristiwa kebangkitan Yesus bukanlah satu hal yang benar-benar terjadi, melainkan satu bualan yang diciptakan oleh para murid-murid Yesus untuk memberi kesan adanya penggenapan akan Nubuatan Perjanjian Lama dan sebagai usaha pengembalian image Yesus bagi pengikut-Nya yang sempat terhilang oleh karena kekalahan-Nya yang berpuncak pada penyaliban dan kematian-Nya. Satu hal yang sangat sulit mungkin ketika kita yang mengaku sebagai pengikut-Nya harus berdiri dan memilih diantara dua pemahaman ini. Mengingat ada rentang waktu yang cukup jauh antara peristiwa itu dengan kehidupan kita pada saat ini, disamping memang peristiwa itu tidak terjadi pula di Negara kita Indonesia namun jauh di daerah Timur Tengah, yang pada akhirnya semakin mempersulit kita untuk mencari tahu tentang kebenaran ceritanya. Namun terlepas pada pilihan apakah kita akan memahami peristiwa Paskah sebagai cerita yang nyata atau fiktif belaka, ada satu hal yang patut kita teladankan melalui cerita kebangkitan dan peristiwa paskah dalam hidup kita, yakni sikap seorang Yesus yang mampu melawan segala ketakutan-Nya dan menghadapi segala pergumulan-Nya dengan satu ketegaran dan keyakinan. Melalui peristiwa paskah kita disadarkan bahwa sesungguhnya kehadiran Yesus pada dasarnya bukanlah untuk menghilangkan segala pergumulan dan membebaskan ketakutan kita sebagai manusia, melainkan memberi pemahaman bagaimana kita mengelola ketakutan serta pergumulan kita dan membangunnya menjadi satu kekuatan yang memperbaharui segala sesuatunya. Dan inilah yang diteladankan oleh Yesus, bagaimana Ia merangkai pilu-Nya, ketakutan-Nya dan pergumulan-Nya sebagai manusia menjadi sebuah kekuatan yang memampukan-Nya untuk menghadapi segala sesuatunya. Sikap Yesus ini didasari pula oleh konsep penyerahan diri secara utuh kepada Bapa-Nya, yang senantiasa memberi asa/pengharapan bahwa Bapa tidak akan pernah meninggalkan-Nya. Melalui moment kebangkitan Yesus nyata satu sikap bagaimana setiap manusia dapat memperbaharui dirinya, dan inilah yang diikrarkan Yesus dengan mengatakan “lihatlah, Aku telah membuat semuanya baru”, beberapa saat sebelum kematiannya. Bahkan Ia dengan tegas mengatakan, “hai wanita, jangan tangisi diriKu, tetapi tangisilah dirimu”, yang memberi pada satu pemahaman bahwa sesungguhnya Yesus tidak terlalu membutuhkan peringatan, namun lebih dari itu Ia butuh sikap nyata. Satu sikap yang mampu merangkai pilu dan membangunnya menjadi sebuah asa, sebagaimana juga pernah disuarakan oleh tokoh emansipasi perempuan semasa perjuangan bangsa Indonesia dengan ungkapan “habis gelap terbitlah terang”. Dan pada akhirnya ini pulalah yang disampaikan sang ‘pemikir’ dalam kesimpulan tulisannya dengan mengatakan “bahwa segala sesuatu indah pada waktunya”. Ya, segala sesuatu akan menjadi indah ketika kita mampu merangkai setiap kisah serta peristiwa hidup kita dan membangunnya menjadi sebuah asa. Melalui dukacita kita akan mengharapkan sukacita, melalui pergumulan hidup kita mengharapkan satu pertumbuhan menuju kedewasaan dan melalui ketakutan kita mengharapkan keteguhan iman. Segala sesuatu akan menjadi baru ketika kita mampu memandangnya dalam sudut pandang yang baru, dan untuk itu diperlukan sikap hati dan pola pikir yang baru terlebih dahulu, yakni suatu sikap hati dan pola pikir yang telah diperbaharui oleh Yesus melalui teladan hidup-Nya.

Mematahkan Kekerasan (Agama) dengan Cinta : Perspektif Rene Girard

I. Pendahuluan Kekerasan adalah fenomena yang menyelimuti dan merasuki dunia dewasa ini. Ia (kekerasan) ada dimana-mana. Seperti hantu, kekerasan itu maya sekaligus nyata. Maya, sebab kekerasan menembusi segala ruang dan waktu. Nyata, karena kekerasan itu riil. Kekerasan selalu kita jumpai dan rasakan; di pasar-pasar, di jalanan, bahkan dalam ruang-ruang pribadi, kekerasan pun menampakkan wajah destruktifnya yang mempesona dan sekaligus menjijikkan. Budi Hardiman menulis, ada mistik di dalam jantung hati teror (baca : Kekerasan). Di dalam mistik itu, lanjut Budi Hardiman, kematian telah kehilangan cirinya yang menakutkan dan menjelma menjadi sebuah sarana untuk suatu tujuan suci. Di sini kekerasan tampil mempesonakan manusia dan menampakkan diri sebagai aura spiritual sebuah ibadah. Namun serentak dengan itu kekerasan tetap juga menggelisahkan manusia, sebab kekerasan mewujud sebagai kekuatan penghancur yang menuntun kepada kematian, sesuatu yang sangat ditakuti oleh manusia. Karena ketakutannya itu, manusia hendak menghindarkan diri dari kekerasan. Akan tetapi, karena sedemikian kuat dan hegemoniknya, kekerasan membuat manusia seakan-akan tidak bisa lari darinya. Semakin orang berlari menjauh dari kekerasan, semakin dekat pula orang kepadanya. Gerak menghindar justru menegaskan kekerasan itu sendiri. Di sini manusia lantas terjebak dan dibelenggu oleh rantai kekerasan. Lalu, bagaimana lingkaran setan ini dihancurkan?? Untuk mematahkan dan menghancurkan kekerasan, manusia perlu mengenali wataknya: kondisi apa yang melatari munculnya kekerasan itu, bagaimana proses kerjanya sehingga ia tampak laksana hantu yang ingin ditolak tapi tertolak. Hanya dengan pengenalan itulah manusia baru bisa melucuti selubung palsu kekerasan dan menghancurkannya. Namun, ketika kita sudah mengenali wataknya yang destruktif dengan kekuatan, apa kita akan mematahkan kuasa kekerasan itu? Lewat tulisan ini penulis ingin mengajak kita untuk menyelami ”lautan” kuasa kekerasan sampi ke radixnya bersama Rene Girard. Dari situ, kita baru akan membahas cinta, satu-satunya kekuatan yang menurut Girard mampu menelanjangi kekerasan dan mencampakkannya ke dalam neraka kezaliman. Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membahas hal itu, baiklah kita mengenali dahulu Rene Girard, sahabat seperjalanan yang akan menunjukkan jalan-jalan labirin kekerasan serta cara cerdas untuk keluar dari labirin itu. II. Sekilas Tentang Rene Girard Girard adalah seorang pemikir besar akhir abad ke-20 yang masih hidup sampai hari ini. Ia dilahirkan pada 25 Desember 1923 dan tumbuh sebagai seseorang yang awalnya tidak menaruh minat besar dalam kehidupan keagamaan, walaupun ibunya adalah seorang Katolik yang taat. Di masa mudanya, ia malah aktif sebagai seorang pemikir yang kekiri-kirian. Ia belajar sejarah abad pertengahan dan menulis disertasi berjudul Private life in Avignon in The Second Half of The Fifteenth Century (1947). Gelar Doktornya yang kedua ia selesaikan di Indiana University, dan kemudian menjadi guru besar sastra di John Hopkins University, Baltimore, tahun 1961 – 1968. minatnya kepada agama dan teologi baru ia tunjukkan pada perayaan paskah tahun 1959 bersamaan dengan “perobatannya” setelah ia menulis buku pertama tentang lima novelis besar dunia : Cervantes, Flaubert, Stendhal, Proust, dan Dostojevski. Pada tahun 1968 samapai masa purna tugasnya tahun 1995, Girard menjadi guru besar bahasa, sastra, dan kebudayaan Perancis di Stanford Univbersity, California. Di sini Girard menemukan tempat yang terhormat untuk mengembangkan diri dan profesinya. Sampai sekarang Girard hidup di Stanford bersama Martha, istrinya dan triga orang anaknya serta beberapa cucu mereka. Saat ini Girard banyak dikenal dan mempengaruhi banyak kalangan, terutama melalui teori kambing hitamnya. Teori ini lahir dari petualangan intelektual Girard yang mencerminkan keluasan wawasannya sebagai seorang pemikir. Lewat pembacaannya yang kritis terhadap karya-karya para novelis, serta kepakarannya dalam bidang etnologi, antropologi, psikologi, mitologi, teologi dan sastra, lahirlah teori tersebut (kambing hitam). Dalam penjelajahan intelektualnya itu, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua disiplin ilmu yang diselidikinya itu tidak bisa dibaca secara intrumentalis, tetapi sebagai sumber yang “mewahyukan” kebenaran-kebenaran tentang masyarakat. Salah satu kebenaran itu adalah bertakhtanya rivalitas tiada hentinya dalam masyarakat, yang sewaktu-waktu bisa menyulut kekerasan. Karena itu masyarakat, juga agama, harus terus menerus mengatur, menangani dan menyalurkan kekerasan itu. Sedemikian rupa kekerasan itu mengawali, menyusup, dan mewarnai baik masyarakat maupun agama, sampai bisa dikesankan, terjadinya masyarakat dan agama adalah karena kekerasan. Dari situ Girard kemudian menelurkan tesisnya yang profetik “akan datang saatnya agama tidak lagi mampu meredam kekerasan”. III. Rene Girard dan Enigma Kekerasan (Agama) Tesis Girard yang abru saja penulis kutip di atas, “akan datang saatnya agama tidak lagi mampu meredam kekerasan”, kini semakin menunjukkan tanda-tanda profetisnya. Artinya, tesis itu benar-benar meramalkan kebenaran yang sekarang betul-betul menjadi kenyataan. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi, bahkan wajah masifnya tampak dengan begitu telanjang. Dalam skala internasional, dunia dikejutkan oleh peristiwa 11 September yang mematikan banyak orang dan menyisakan trauma yang mendalam. Manusia-manusia yang mati dalam kesia-siaan ini menjadi korban atau dikorbankan untuk sebuah kepentingan. Para teroris yang menyerang Twin Towers dan Pentagon. IV. Mematahkan Kekerasan (Agama) dengan Cinta Dari penjelasan di atas, paling tidak kita sudah punya pemahaman tentang alasan fundamental timbulnya kekerasan. Bahkan, bersama Girard kita telah berjalan melewati labirin kekerasan yang seakan tiada akhir. Perjalanan ini merupakan sebuah pengalaman yang mencemaskan; pengalaman, meminjam bahasa Heidegger, keterlemparan atau keterhempasan ke dalam ketiadaan (Nicht). Tapi benarkah kekerasan itu tidak dapat dipatahkan? Walaupun Girard sendiri agak pesimis dengan hal ini, namun interpretasi teologis Girard di seputar kematian Yesus patut untuk kita renungkan. Barangkali interpretasi itu akan memberikan secercah harapan bagi kita untuk meraih kemungkinan-kemungkinan dalam pengalaman keterlemparan yang mencemaskan ini. Jika kita mengikuti logika kambing hitam seperti yang diuraikan di atas, maka kematian Yesus dapat digolongkan sebagai sebuah pengkambing-hitaman. Semua orang bangkit melawan Yesus, semua pihak yang terlibat akhirnya sepakat melawan dan mengorbankan Yesus. Mereka adalah massa rakyat biasa di Yerusalem, penguasa agama Yahudi, penguasa Pemerintah Romawi, bahkan para murid, yang kendati tidak mengkhianati Yesus, tetapi secara pasif ikut dalam persetujuan unanim melawan Yesus. Dia yang dahulu disanjung kini dinista. Dia yang tidak bersalah dijadikan sebagai korban, kambing hitam. Namun menurut Girard, kematian Yesus tidak bisa disejajarkan dengan mekanisme pengurbanan yang umum yang terdapat dalam agama-agama. Dalam ritus korban yang umum, orang yang dikorbankan itu adalah bersalah atau dianggap salah. Karena itu, pembunuhan terhadapnya dianggap benar dan adil. Sebaliknya Injil mengatakan dan membuka dengan terang-terangan, bahwa Yesus, si korban itu, sungguh tidak bersalah. Untuk itu kiranya kekristenan kembali kepada kebenaran Injil: ”Yesus tidak pernah menyediakan diri sebagai kambing hitam, tetapi Ia ternyata menjadi kambing hitam atau dijadikan kambing hitam, justru karena Ia membuka mekanisme kambing hitam itu. Yesus mau tidak mau harus menjadi, bukan karena Ia mau menjadi kambing hitam, tetapi karena Ia mau membuka apa yang menjadi rahasia sejak dunia diciptakan, yakni mekanisme kekerasan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Injil itu subversif terhadap visi korbani, yang mendasari lahirnya agama-agama. Menurut Girard, jika ada orang yang memahami kematian Yesus sebagai sebuah kisah korbani, maka orang itu tidak mampu memahami kekerasannya sendiri, bahkan ketika kekerasan itu dihadirkan dengan senyata-nyatanya. Jelas, kematian Yesus bukan korbani sifatnya. Yesus mati bukan sebagai korban, tetapi agar tiada korban lagi. Dalam Dia, genaplah sabda Tuhan : Bukan korban, tetapi belas kasih yang Kuingini”. Sabda ini bukannya tanpa akibat. Artinya, jika sabda ini tidak diikuti, praktek korban dan kekerasan tetap dijalankan. Tidak bisa tidak, kekerasan itu akan meminta korban, dan satu-satunya korban adalah satu-satunya orang yang tidak terkenai wabah kekerasan, dan yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri: Dia adalah Yesus, pribadi yang mampu mencinta dengan sepenuh-penuhnya. Kematian-Nya adalah konsekuensi tanpa ampun terhadap sikap-Nya yang berkata tidak terhadap kekerasan. Dan akhirnya, kematian Yesus pun menelanjangi realitas kekerasan, melucuti dan mencampakkannya, sebab kekerasan hanya bisa ”dijebak” untuk mengakui bahwa dirinya adalah kekerasan, jika Ia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak berlepotan dengan kekerasan dan dipenuhi dengan cinta. Cinta-Nya yang tulus, yang membawanya ke dalam ketiadaan, telah membuat Ia ada. Aku mencinta maka Aku ada. Maukah aku dan engkau meng-ada??? Jika mau, mencintalah!!!

Memaknai Kasih Tidak Bersyarat Dalam Hubungan Bersyarat

Suatu ketika dalam jejaring social saya pernah mengajukan pertanyaan yang isinya seperti ini : “Apakah kita takut kepada Tuhan agar mendapatkan berkat atau karena kita sudah mendapat berkat makanya kita takut kepada Tuhan?”. Pertanyaan ini terlintas dalam benak saya bukan dalam rangka menguji pengetahuan setiap orang yang akan menjawab tersebut, namun pertanyaan ini muncul dalam upaya saya ingin mencoba memahami pemahaman setiap orang akan arti kemerdekaan (kehendak bebas) sesungguh yang selama ini telah Tuhan berikan dan percayakan kepada kita umat manusia. Dalam teks khotbah beberapa minggu belakangan ini cukup sering mencuat kepermukaan teks-teks yang memberi penekanan akan hubungan antara Tuhan dan manusia yang digambarkan dalam bentuk hubungan antara orang tua dan anak. Suatu bentuk hubungan yang paling sederhana namun sarat dengan filosofi yang mendalam. Dan dari latar belakang bentuk hubungan inilah kita akan mencoba mengulas pertanyaan yang telah saya ajukan tadi dan memahami akan arti kemerdekaan. Sesungguhnya hal yang tidak bisa ditolak dalam hidup ini adalah ketika seseorang terlahir sebagai seorang anak dan memiliki orang tua. Dan orang tua tidak dapat menghalangi kehadiran seorang anak di dalam kehidupan keluarga mereka. Memiliki orang tua adalah anugerah demikian pula sebaliknya. Seorang anak lahir ke tengah-tengah dunia ini sebagai usaha kasih dari kedua orangtuanya. Seorang anak mungkin tidak akan menemukan jawaban ketika ia bertanya kepada orangtuanya mengapa ia dilahirkan. Dan orangtua mungkin tidak akan menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan mengapa ia mengasihi anaknya. Seorang anak hanya tahu satu hal didalam kehidupannya yaitu ia telah menerima berkat yang tidak bisa tergantikan oleh apapun ketika ia memiliki orang tua yang mengasihinya. Itulah yang disebut dengan kasih tidak bersyarat, yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan ketulusan hati. Suatu tindakan yang tidak menuntut balasan yang setimpal atas apa yang telah ia lakukan dan suatu tindakan yang tidak akan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Seorang anak tidak akan pernah bisa membalas kasih yang telah diberikan orangtuanya kepadanya, karena sudah barang tentu orangtuanya tidak mengingikannya. Dan filosofi inilah yang kita kenal dalam kehidupan bangsa kita dengan mengatakan “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan”. Seorang Tokoh Paulus mencoba melihat kerangka ini dalam gambaran hubungan antara Tuhan dan Manusia. Paulus melihat bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia adalah hubungan yang tidak terpisah, layaknya orangtua yang tidak terpisah dari anaknya. Pada dasarnya sifat takut Manusia terhadap Tuhan harus dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa manusia itu sudah terlebih dahulu menerima berkat dari Tuhan, yakni kasih itu sendiri. Maksudnya oleh karena kasih itulah manusia dimampukan untuk menjawab panggilan kasih itu melalui sikap takut dan hormat (respect) kepada Tuhan. Sama hal seperti seorang anak yang menghormati orangtuanya karena sudah terlebih dahulu menerima kasih dari orangtuanya. Sikap takut itulah yang akan menuntun seorang manusia pada pengenalan dan pemahaman akan siapa Tuhan yang sesungguhnya dan bagaimana ia berperan dalam kehidupan kita yang senantiasa membawa ke jalan yang benar (bnd. Ams.1:7). Karena apapun yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan manusia pada prinsipnya untuk kebaikan manusia itu sendiri dan sebagai upaya membentuk manusia itu sebagai manusia seutuhnya namun memancarkan karakter ketuhanan. Namun tanpa kita sadari seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan pemikiran terkadang kita melupakan jati diri kita sebagai anak dan mengubahnya menjadi hubungan antara seorang majikan dan hamba. Kita cenderung berpikir dan membiasakan diri bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang kita kerjakan semuanya harus mendapat upah atau balasan karena kita merasa bahwa apa yang kita lakukan bukan untuk kita melainkan untuk Tuhan semata, misalnya saja kalau kita sudah melakukan sesuatu yang menurut kita baik dihadapan Tuhan maka sudah selayaknyalah kita mendapat berkat dari Tuhan, baik melalui materi ataupun dengan pemenuhan segala sesuatu yang kita inginkan. Seolah-olah kita merasa bahwa kita terlahir di dunia ini hanya untuk memuaskan keinginan Tuhan dan untuk itulah kita diupah melalui berkat, satu pemahaman yang menganggap bahwa kita takut kepada Tuhan agar kita mendapat berkat dari-Nya. Dan acapkali pula kita beranggapan bahwa kemerdekaan itu adalah suatu kehendak bebas (kebebasan) untuk melakukan (atau tidak melakukan) kehendak Tuhan tersebut. Karena kita merasa diri kita sebagai hamba (orang upahan) maka kita hanya melakukan yang terbaik kepada majikan yang memberikan hal terbaik kepada kita. Kita merasa bebas melakukan apa saja dan bekerja pada siapa saja selama ia mampu menjamin pemenuhan segala keinginan sesaat kita dalam kehidupan ini. Ya, suatu kebebasan dan kemerdekaan yang dilahirkan oleh karena adanya jaminan akan pemenuhan keinginan sesaat. Dan paradigma seperti itulah yang sedang merongrong keimanan kita pada saat ini, suatu pemahaman yang meletakkan dasar keimanan pada jaminan pemenuhan keinginan sesaat bukan pada janji Tuhan. Salah satu contoh konkrit yang nyata dalam kehidupan kita berbangsa adalah suatu sikap yang menyatakan bahwa kebenaran itu ada pada orang banyak (massa). Semakin banyak orang mendukung akan sesuatu hal, maka semakin besar pula adanya jaminan pemenuhan keinginan sesaat. Ibarat pemahaman dalam salah sistem ekonomi yang menyatakan: “dimana semakin banyak keinginan orang akan suatu produk/barang, maka semakin naik pula harga produk/barang tersebut”. Atau dalam istilah lain dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang mendukung suatu pendapat, maka semakin bernilailah pendapat itu dan semakin mendekati kebenaran. Dan setiap orang pun diberi kebebasan untuk menyampaikan suaranya, idenya atau gagasannya terlepas dari penilaian apakah suara, ide dan gagasannya itu lahir dari sebagai pemenuhan kehendak Tuhan untuk membangun manusia itu sendiri atau hanya sekedar pemenuhan keinginan sesaat saja, karena disitulah letak kemerdekaan seseorang. Merdeka untuk berpikir, merdeka untuk berkata dan merdeka untuk berbuat. Dan pada akhirnya kemerdekaan itu akan berubah menjadi kebenaran ketika ia didukung oleh sekelumit orang. “Vox Populi Vox Dei” merupakan slogan yang selalu didengungkan dalam arus reformasi dan demokrasi, baik dalam kehidupan pemerintahan dan masyarakat secara umum maupun dalam ruang lingkup gereja yang menyatakan dirinya sebagai gereja reformasi. Slogan ini selalu menjadi motto terdepan dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang menurut orang banyak tidak memihak kepentingan mereka. Dan slogan ini pulalah yang kerap dijadikan temeng untuk melakukan perubahan dalam segala hal, terlepas apakah perubahan itu membawa dampak baik atau tidak nantinya. Melalui slogan ini kita akan digiring pada pemahaman bahwa segala sesuatu ditentukan dan diputuskan oleh suara terbanyak, karena dari sanalah ada kebenaran itu. Belakangan ini kita kerap melihat usaha beberapa orang yang berusaha menggulingkan pemerintahan seorang pemimpin Negara melalui demonstrasi karena merasa kebijakannya tidak prorakyat. Dan mungkin juga kita sering melihat usaha para mahasiswa yang cukup sering turun ke jalan dalam sejumlah massa dengan berbagai ornament demonstrasinya menyerukan penolakan atas kebijakan pemerintah atas nama rakyat. Demikianlah proses ini tetap berlangsung sampai sekarang di Negara kita ini, dan inilah yang disebut dengan Reformasi. Peristiwa tersebut tidak hanya sekedar terjadi di Negara kita ini, namun sudah mulai bersahabat dalam lingkungan gereja saat ini. Tentu saja sebagai warga jemaat Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) yang peka kita sudah melihat perubahan besar yang terjadi dalam Synode Am XVII GKPA (Periodesasi) tahun 2011 mengenai sistem pemilihan Pucuk Pimpinan. Seperti yang kita tahu selama ini, bahwa sejak awal GKPA berdiri sudah memakai sistem kepemimpinan (organisasi gereja) Episcopal Sinodal, dimana keputusan akhir atas suatu pendapat berada ditangan “Episkopos (pelayan Tuhan)” yang dalam hal ini diwakilkan oleh para pendeta. Demikian pula halnya dengan sistem pemilihan Pucuk Pimpinan GKPA, seharusnya setiap calon harus berasal dari pemilihan pada rapat pendeta dan setiap nama calon harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh para anggota Rapat Pendeta. Namun sesuai keputusan para Synodestan pada Synode Am XVII GKPA (Periodesasi) yang mengatasnamakan keputusan terbanyak sebagai suara Tuhan diambillah keputusan bahwa setiap calon yang akan menjadi puncuk pimpinan dipilih secara langsung oleh para Synodestan dalam ruang persidangan secara terbuka. Mungkin bagi kita warga jemaat awam hal tersebut tidak terlalu berdampak besar dalam kehidupan kita berjemaat, namun satu hal yang perlu kita garisbawahi bahwa perubahan tersebut sudah mencatat sejarah baru dalam perjalanan arak-arakan GKPA kedepannya. Kalaulah saya boleh menggambarkan, menurut saya saat ini GKPA sedang diperhadapkan pada persimpangan jalan untuk menetukan arah dan tujuannya kembali. Satu situasi yang mencoba untuk berkontemplasi, apakah keputusan dalam Synode Am XVII GKPA Tahun 2011 merupakan kebenaran akan suara Tuhan? Sekedar perbandingan untuk kita, menurut kita apakah dapat dikatakan bahwa proses persidangan Yesus sampai ketika Ia dijatuhi hukuman mati dimasa lampau merupakan salah satu proses yang didasari oleh slogan “Vox Populi Vox Dei”? Apakah benar ketika sekerumun orang menginginkan kematian Yesus merupakan keterwakilan dari suara Tuhan? Apakah kebenaran (bnd. Yoh.8:40) yang disampaikan oleh seorang Yesus menjadi tidak benar karena ia harus berhadapan dengan suara terbanyak yang belum tentu benar secara mutlak? Nah untuk menemukan benang merah akan pergumulan tersebut ada baiknya mari kita coba untuk “back to the Bible” (meminjam istilah yang dipakai tokoh Reformasi Marthin Luther). Memakai kutipan teks Alkitab versi Terjemahan Baru dari Yohanes 8:32 dikatakan : “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Melalui teks ini kita boleh melihat bahwa kemerdekaan itu tidak hanya semata kebebasan untuk melakukan sesuatu dengan berlindung dibalik suara terbanyak atau suara rakyat namun ia harus didasari pula oleh kebenaran. Dengan demikianlah kita akan memahami “Vox Populi Vox Dei” yang sesungguhnya, dimana suara, ide serta gagasan akan menjadi suara Tuhan bukan hanya karena didukung oleh orang banyak namun karena ia mampu menyampaikan kebenaran dari Tuhan melalui keterwakilan orang-orang tersebut. Dan oleh itu diperlukanlah satu syarat yang mutlak bagi orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai keterwakilan Tuhan, yakni mengenal Tuhan itu sendiri secara pribadi dan bukan hanya sekedar pengakuan yang berasal dari kesaksian orang lain, atau dalam bahasa sederhananya diperlukan satu bentuk hubungan yang bersyarat antara manusia tersebut dengan Tuhan. Melalui teks ini kita mampu bercermin bahwa kemerdekaan (kehendak bebas) itu sesungguhnya bukanlah suatu usaha untuk melakukan segala sesuatu sesuai kemauan (jaminan pemenuhan keinginan sesaat) kita sendiri, tetapi suatu usaha untuk memaknai Kasih Tuhan yang telah dinyatakan kepada kita secara tidak bersyarat dan menjawabnya dalam satu hubungan bersyarat, yakni suatu hubungan yang didasari dan dibina oleh kedekatan emosional dalam kisah hidup sehingga memampukan kita mengenal suara Tuhan yang sebenarnya serta menyatakan kebenaranNya. Suatu kemerdekaan yang diikuti oleh rasa tanggung dan didukung oleh rasa takut serta hormat (respect) terhadap Tuhan Sang Empunya Kebenaran. Suatu rasa takut yang lahir untuk menjawab panggilan kasih setia Tuhan melalui pengenalan yang benar terhadap Tuhan itu sendiri, suatu paradigma yang meletakkan keimanan pada janji kasih setia Tuhan dan suatu pernyataan sikap yang memaknai kasih, berkat dan anugerah yang tidak bersyarat dalam hubungan bersyarat.

Senin, 20 September 2010

Berawal Kesederhanaan, Bermuara Keteladanan

Tanpa terasa selang beberapa bulan lagi, waktu akan mengiring kita pada satu hari kebesaran umat Kristen yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pesta perayaaan besar. Suatu pola yang mencirikan iman percaya umat kristen dalam menyambut Hari Natal, hari yang diyakini sebagai hari lahirnya Sang Juru Selamat. Sebagian umat Kristen akan menghabiskan waktu, tenaga dan materi untuk mempersiapkan perayaan itu semegah dan semaksimal mungkin, sebagai wujud iman dan pengakuan mereka akan penyertaan Sang Khalik yang dipresentasikan melalui kelahiran Yesus Kristus. Tanpa bermaksud memprovokasi kebanyakan umat kristen mungkin tidak terlalu mengambil pusing akan latar belakang hari penetapan itu, bagi kita yang terpenting hanya pesta perayaan tersebut.
Penelitian berkembang saat ini mulai mengkritisi akan penetapan hari kelahiran Yesus Kristus (Baca : Natal) tersebut. Kebanyakan para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Mereka beranggapan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan. Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang memedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.
Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan. Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya. Melalui tulisan sederhana ini penulis mencoba membuka paradigma kita akan cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya, yakni dengan menjelmakan kembali diri Yesus, terutama bela rasa yang pernah dibangkitkan-Nya, dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Salah satu pola bela rasa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-Nya tergambar jelas dalam kisah mujizat Yesus memberi lima ribu orang dengan lima ketul roti dan dua ekor ikan, suatu kisah menarik yang pernah dicatat dalam rangkaian Injil. Sebagian kalangan khususnya kristen literalis memahami kisah ini sebagai kisah sejarah yang benar – benar terjadi dimasa lampau ketika Yesus masih hidup. Mereka menganggap adalah hal yang wajar ketika Yesus melakukan hal sedemikian rupa melihat kapasitasnya sebagai Anak Allah yang mampu melakukan apa saja sekalipun itu mustahil di mata manusia.
Kontras dengan itu, kalangan Kristen kritis non-literalis memahami kisah mukjizat pemberian makan 5000 orang ini sebagai sebuah mitos, sebuah metafora, sebuah perumpamaan, a parable. Sebagai sebuah metafora, sebuah mitos, kisah ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah faktual apa adanya, tetapi mau menyampaikan sebuah pesan teologis, antara lain, bahwa Yesus adalah Musa yang baru, yang mengulangi kembali apa yang dulu Musa pernah lakukan bagi bangsa Israel, yakni mendatangkan manna, dalam perjalanan mereka di padang gurun setelah meninggalkan tanah Mesir (lihat Keluaran 16); atau, bahwa Yesus adalah Nabi Elia yang baru, yang sanggup tanpa habis-habis memberi roti kepada orang banyak, kurang lebih serupa dengan apa yang pernah dilakukan Elia kepada seorang janda di Sarfat dalam konteks lain (lihat 1 Raja-raja 17:7-16). Sebuah pesan teologis bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi sebuah berita yang disampaikan untuk membangkitkan antara lain sebuah penyembahan dan pengagungan, sebuah sikap devosional reverensial, terhadap figur-figur besar yang dikisahkan di dalamnya.
Tidak terlalu penting dibicarakan kita harus berdiri dimana dan memilih pendapat kalangan mana yang benar, tetapi point terpentingnya terletak pada bagaimana kita menjelmakan kisah mujizat tersebut di dalam perayaan Natal kita, dan bukan hanya sebagai kegiatan seremonial semata, tetapi sebagai tanggung jawab iman kita bersama yang senantiasa dilakukan setiap saat secara intens dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakan secara nyata.
Menurut data dari Unicef PBB, lebih dari 30 % dari total kurang lebih 600 juta anak-anak di negara-negara berkembang hidup kurang dari 1 US Dollar per hari; dan setiap 3,6 detik satu orang meninggal dunia karena kelaparan, umumnya seorang anak di bawah umur 5 tahun. Unicef menargetkan pada tahun 2015 jumlah orang yang hidup kurang dari 1 US Dollar per hari berkurang separuh, dan jumlah orang yang menderita kelaparan berkurang separuh (sumber http://www.unicef.org/mdg/poverty.html). Bukan hanya itu saja, ditatanan ruang lingkup negara kita, Indonesia keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) bukanlah hal yang asing bagi kita. Hampir diberbagai wilayah Indonesia tema gepeng ini selalu menjadi tajuk utama yang tidak akan pernah selesai untuk dibahas dan dikaji. Dan bahkan yang lebih uniknya, tema ini pula yang selalu di pakai oleh kalangan ‘pengobral janji’ sebagai ‘jualan’ yang laris manis untuk dijual dalam orasi politiknya dalam usaha mencari simpati dan dukungan rakyat ketika ia hendak memimpin negara ini.
Data seram di atas tentang kelaparan dan kemiskinan di tingkat global sudah seharusnya membuat gereja-gereja Kristen di seluruh dunia dapat sungguh-sungguh menghadirkan kembali Yesus Kristus di dunia sekarang ini untuk Dia, dari sedikit pangan yang tersedia, bisa kembali mengenyangkan orang yang lapar, yang jumlahnya amat sangat banyak, 1 sampai 3 milyar orang, dan bagian terbesar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Seandainya dulu Yesus faktual bisa memberi makan sampai kenyang 5000 orang laki-laki dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, seharusnya sekarang juga Dia atau gereja-Nya bisa melakukan hal serupa.
Tetapi patut sangat disesalkan, di tengah kenyataan kemiskinan dan kelaparan global yang dahsyat ini, 5000 ketul roti malah sekarang ini celakanya dihabiskan hanya oleh 5 orang dewasa Kristen berperut buncit bersama 2 anak mereka yang masih kecil yang terkena obesitas. Kenyataan bahwa orang Kristen sangat serakah tentu saja akan membuat banyak orang tidak bisa percaya sama sekali kalau dulu Yesus Kristus betul-betul pernah memberi makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan!
Bagaimana sekarang ini orang banyak bisa percaya sementara ada sekian gereja sanggup menghabiskan dana ratusan milyar bahkan sampai trilyunan rupiah hanya untuk membangun gedung-gedung gereja supermegah, sementara kemiskinan dan kelaparan masih diderita oleh sangat banyak orang Indonesia? Bagaimana mungkin kita membicarakan tentang perayaan Natal yang penuh hikmat ketika dilaksanakan dalam bentuk perayaan yang serba wah, sementara orang – orang disekeliling gereja kita (yang mungkin saja salah satu warga jemaat kita), tidak mampu memikirkan apa yang akan dimakan esok? Bagaimana mungkin kita berbicara bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan masuk surga, satu-satunya orang yang bisa mengenyangkan 5000 orang laki-laki dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan kecil?
Tulisan ini bukan keluar dari goa kebosanan, tetapi dari danau kasih sayang yang berperahukan keprihatinan, datang menghampiri dermaga pembaca yang penuh jala dan kali yang tidak terpasang. Melalui catatan singkat ini penulis mencoba mengarahkan kita untuk kembali pada hakikat kita sebagai umat Kristen, orang – orang yang meyakini Yesus sebagai Juru Selamat untuk lebih peka terhadap masalah – masalah sosial yang senantiasa terjadi disekeliling kehidupan kita. Suatu pola yang mendasarkan iman pada kelahiran Yesus yang diawali dengan kederhanaan, namun bermuara pada keteladanan dalam sikap hidup-Nya. Pada akhirnya penulis ingin menyampaikan kepada kita semua : “Selamat Merayakan Natal 25 Desember 2010 dan Menyambut Tahun Baru 1 Januari 2011”. Kiranya Yesus Kristus Sang Kepala Gereja memberkati. Syalom!

Senin, 01 Maret 2010

Puisi Dalam Teologi Pembebasan

Ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi seolah terdakwa untuk menggugatnya. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah, puisi juga turut merekamnya.

Puisi sebagai sebuah karya, mempunyai kaitan erat antara penyair dan latar belakang penciptaannya, seperti aliran, filsafat, dan latar belakang sosial budaya pada zaman penciptannya. Hal-hal tersebut mewarnai puisi-puisi yang diciptakan oleh si penyair itu sendiri. Puisi tidaklah lahir dari kekosongan budaya, melainkan dalam konteks sosial dan realitas di zamannya.

Sebut saja seperti puisi-puisi yang diciptakan pada zaman pergerakan pembebasan di Asia. Puisi seolah menjadi pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu, seperti: teologi Minjung di Korea, teologi perjuangan umat kristiani di Filipina, dan teologi Dalit di India.

Dalam teologi Minjung, seorang penyair yang juga pegawai kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya merekam dan menggugat kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang bangkit saat itu. Ia malah rela menerima kekerasan terhadap dirinya dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.

Dalam puisinya ia menulis, //Saya aka suka rela menerima hukuman apa pun/ yang akan saya sandang/ akan lebih mudah bagi saya mati kelaparan/ di antara lubang batu karang/ dari pada melihat rakyat mati tanpa suara//.

Yulogk lewat puisi yang dikirim kepada rajanya itu, menggugat kebijakan sang raja yang memberlakukan tarif pajak terlalu tinggi, sementara rakyat terus hidup dalam kemiskinan.

Begitu juga dengan perjuangan umat Kristiani di Filipina pada awal 1980-an dalam revolusi EDSA yang menumbangkan pemerintahan diktator Ferdinan Marcos, juga melahirkan puisi-puisi miris tentang kegetiran hidup rakyat dalam revolusi tersebut. Puisi-puisi protes yang muncul seolah menjelma menjadi nyanian-nyanyian, mazmur-mazmur yang menggambarkan sejarah yang berlangsung saat itu.

Salah satu puisi yang kerap didendangkan rakyat Filipina sebagai mazmur itu adalah: //Aku tidak takut akan hantu/ tidak pula meratapi pembunuhan keji/ tanpa tempat istirahat yang layak// Tidak jadi soal kalau anak-anakku/ istriku, kawan-kawanku, dan kerabatku/ tidak melihat aku menghembus nafas terakhir/ sebab mereka tahu bentuk kematian/ rencana jahat orang-orang berkuasa/ yang menunggu mereka yang berjuang/ agar keadilan ilahi merajai di negeri ini//.

Penyair Detrich melalui puisinya juga merekam sejarah perjuangan emansipasi wanita di negara tersebut. Lewat puisi, Detrich berusaha melepaskan kaum perempuan dari dominasi kaum pria yang dianggapnya menjadi “mesin” penggilas kebebasan perempuan Filipina. //Kamulah (kaum pria-red) yang telah menciptakan/ mesin-mesin bagi penyebar maut/ untuk setiap orang di bumi//.

Sejarah kesusastraan dalit kontremporer India juga mencatat Gibrielle Dietrich, Waman Numborka, E V Rames Periyal, Bhimrao Ambedkar, Arun Kamble. Mereka adalah para penyair yang dalam puisinya menggambarkan tentang pengorbanan, penderitaan, dan pertumpahan darah untuk menggapai kebebasan dari sebuah penindasan.

Hal itu sebagaimana ditulis kembali oleh See Eleanor Zelliot dalam buku Maleikal, sebagai salah satu bahan untuk mengungkap wajah kekerasan di India. Zelliot tergerak untuk menganalisa kembali empati para penyair dalam merekam kekerasan lewat puisi-puisinya. Nimbhorka menulis, //Bila aku tak tahu apa apa/ aku tahu kastaku dihina// Patil menendang ayahku/ menyerapahi ibuku/ bahkan mereka tidak mengangkat kepala//.

Hal yang sama juga ditulis penyair EV Rames Periyal dan Bhimrao Ambedkar. Kedua penyair ini melalui karyanya meningalkan catatan sejarah bahwa puisi juga merupakan pemecik api gerakan melawan diskriminasi sosial.

Puisi-puisi gugatan sosial itu penuh dengan kemirisan. Kemirisan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial. Lagi-lagi puisi dinobatkan sebagai bagian dari rekaman sejarah. Dalam buku Political Consideration Upon Revined Politic and The Master Strokes of State, Gabriel Neude (1711) menggambarkan salah satu bait yang bernada miris tersebut:

//Kilat menyambar sebelum suara terdengar/ doa diucapkan sebelum lonceng dibunyikan/ rakyat menderita tanpa mengharap penderitaan/ dan mati sementara meyangka akan tetap hidup/ semua terjadi dalam gelap/ dalam topan dan kekecauan//.

Sementara itu penentangan yang dilakukan oleh Mahadeviakka sangat unik dan bersikap profetis dan kontra kultural, yang mengangkangi norma-norma. Bahkan kaum perempuan India sendiri merasa malu dengan cara penentangan tersebut. Mahadeviakka mengembara telanjang bulat. Tubuhnya hanya ditutupi dengan rambutnya yang panjang. Dalam pengembaraannya itu, ratusan puisi lahir merekam realitas dalam usaha menggapai perubahan dari apa yang ditentangnya.